Sebagai penikmat pertunjukan wayang kulit, saya sering kagum saat melihat dalang membawakan sebuah lakon dalam pementasan. Selain menikmati bagaimana wayang digerakkan (sabet), terkadang saya juga mengambil nilai-nilai tersirat, pesan mendalam dan segala jenis pitutur becik yang disampaikan oleh dalang melalui karakter wayang yang dimainkan. Selain menghibur, pertunjukan wayang kulit sejatinya sarat dengan nilai-nilai luhur dan inspirasi untuk menjalani kehidupan. Salah satu hal yang sampai sekarang masih saya ingat adalah wejangan dari Semar, tokoh punakawan yang tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Semar merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, oleh karena itu dia tidak ditemui dalam kisah Mahabarata versi India. Dalam jagad pewayangan, Semar sejatinya adalah pengejawantahan dari Bathara Ismaya, dewa tingkat atas di Kahyangan, yang memilih turun ke dunia menjadi manusia untuk membimbing para satria supaya menjalani hidup dengan berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran.
Ada tiga hal dari apa yang dikatakan oleh Semar yang berkesan bagi diri saya pribadi. Mereka adalah “sikap mental” yang perlu dimiliki seseorang agar bisa menjalani kehidupan di dunia ini dengan tentram dan bahagia. Tiga sikap mental tersebut adalah tadah, pradah dan ora wegah. Tadah adalah sikap di mana kita menerima segala bentuk dan apa pun pemberian dari Yang Maha Kuasa. Mau diberi banyak, sedikit atau bahkan tidak mendapat apa-apa pun tidak masalah, tidak komplain, tidak mengeluh dan selalu bersyukur. Dalam perspektif Islam, hal ini mungkin bisa disebut dengan qona’ah. Di mana orang yang memiliki sifat ini akan senantiasa bersyukur dan merasa cukup dengan segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT. Sehingga bagi orang yang memiliki sikap ini tidak ada hal yang tidak bisa disyukuri.
Sikap mental yang kedua adalah pradah atau gemar memberi dan berbagi dengan penuh keikhlasan. Sikap pradah ini perlu kita miliki dalam kaitannya dengan lingkungan sekitar, di mana kita mau berbagi segala potensi yang kita punya untuk kemaslahatan bersama, baik itu ilmu, pikiran, tenaga maupun harta tanpa pamrih dengan hanya mengharapkan ridho dari Tuhan semata. Jika tadah berkaitan dengan hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa (vertikal), maka pradah lebih kepada hubungan horizontal dengan sesama manusia. Dalam hidup kita perlu memiliki mental pradah, mental memberi, bukan sebaliknya yakni mental meminta-minta dan mudah menerima. Bukankah dalam agama pun juga disebutkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Di samping itu, dalam memberi kita juga perlu menjaga keikhlasan untuk tidak pamrih dan mengharapkan imbalan semu berupa pujian, rasa kagum orang terhadap kita melainkan kita hanya mengharapkan ridho Allah semata. Ilahi anta maqshudi wa ridhoka mathlubi.
Sikap mental terakhir menurut pitutur Semar adalah ora wegah yang berarti jangan malas dan tidak pilih-pilih. Tidak bisa dipungkiri bahwa sifat malas adalah sumber masalah dalam hal apapun di dunia ini. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita perlu menjadi pribadi yang tangkas, cekatan dan tidak pilih-pilih dalam urusan kebaikan. Sebagai contoh, punya pekerjaan apapun hendaknya kita kerjakan dengan sepenuh hati, tidak setengah-tengah dan tidak melihat besar/kecilnya besaran upah yang diberikan. Dalam hal profesionalitas, kita tekun dan maksimal saat diberi upah besar serta tetap semangat dan totalitas saat mendapat upah yang kecil sekalipun. Intinya, etos kerja tidak berkurang antara upah kecil dan besar, pekerjaan “biasa” dan bergengsi, posisi atasan atau bawahan, karena yang terpenting adalah komitmen dan tanggung jawab kita. Dalam sudut pandang agama pun, kita juga dituntut untuk menjadi orang yang bersemangat dan tidak bermalas-malasan. Bahkan dalam hadist ada doa khusus agar kita terhindar dari sifat malas ini, “Allahumma inni a’udzu bika minal ‘ajzi, wal kasali, wal jubni, wal haromi, wal bukhl”.
Harus diakui memang tidak mudah untuk memiliki ketiga sikap mental sesuai dengan pitutur Kiai Semar Badranaya di atas. Namun tidak ada salahnya kalau kita mulai mencoba mengaplikasikan ketiga nasehat luhur di atas dalam kehidupan jika menginginkan hidup yang tentram dan tidak terbebai oleh apapun. Sehingga kita bisa “nunggang rasa ngadep urip” alias mengendarai perasaan mengarungi hidup, perasaan yang tidak memperdaya namun tetap menjadi sarana untuk menjalani kehidupan. Dan ketika kita sudah “nunggang rasa ngadep urip”, kata Semar kita akan “ora nduwe ning nek butuh ono” yakni tidak berlebihan tapi kalau pas diperlukan ada saja jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan itu.
Wonogiri, 13 November 2020
Willy Juanggo